Constitutional Response Terhadap Penghayat Kepercayaan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PU-XIV/2016
DOI:
https://doi.org/10.59582/sh.v14i01.670Abstrak
Penghayat Kepercayaan di Indonesia telah mengalami diskriminasi dan pelanggaran HAM pada saat ORBA. Hal ini berawal dari pemisahan tafsir antara agama dan kepercayaan melalui GBHN yang dicetuskan oleh Soeharto. Reformasi menjadi momentum sakral bagi banga Indonesia membawa arah demokratisasi yang lebih baik. Salah satunya adalah dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yudisial yang mengawal konstitusi, terutama berkaitan dengan hak-hak warga negara. Perjuangan penghayat kepercayaan akhirnya membuahkan hasil dengan dikabulkannya permohonan oleh MK melalui Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Akan tetapi, putusan MK yang bersifat final and binding tidak dapat diimplementasikan begitu saja, karena dalam tataran eksekutorial, putusan MK bersifat non-executable. Artinya diperlukan respons dari lembaga-lembaga negara lain dan masyarakat. Beberapa lembaga negara yang merespons adalah Kementerian Dalam Negeri yang merespons accept sementara itu, MUI merespons challenge.
Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Peghayat Kepercayaan, Akibat Hukum, Respons Konstitusional.











